Pendidikan Mahal, Mimpi Anak Miskin yang Terampas

Daerah Pendidikan & Kesehatan

Oleh: Ponirin Mika
Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton dan Anggota Community of Critical Social Research Probolinggo

Pendidikan diamanatkan konstitusi sebagai sarana “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Tanpa akses yang setara, cita-cita itu tinggal slogan. Negara modern mana pun menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia menentukan apakah ia sekadar menjadi pasar atau turut memimpin peradaban.

Di balik angka-angka pertumbuhan ekonomi, pendidikan adalah eskalator sosial yang mestinya bisa dinaiki siapa saja, terutama kelompok rentan. Saat seorang anak desa miskin menembus bangku kuliah, ia tak hanya mengubah nasib pribadi, tetapi juga mengangkat derajat keluarga dan komunitasnya.

Undang-Undang Sisdiknas menegaskan pendidikan adalah hak setiap warga. Karena itu, pembiayaan, kurikulum, hingga rekrutmen guru seharusnya dirancang untuk mempersempit—bukan memperlebar—kesenjangan. Jika akses terganjal biaya, mandat konstitusi berubah menjadi ironi.

Apabila sekolah hanya terbuka bagi yang mampu, kemiskinan akan diwariskan antargenerasi. Ketika peluang hidup ditentukan oleh dompet, bukan oleh potensi, bangsa kehilangan talenta terbaiknya. Di sinilah frasa sinis “orang miskin dilarang sekolah” menemukan relevansinya—dan harus kita patahkan.

Lonjakan biaya sekolah dan kuliah beberapa tahun terakhir telah memicu demonstrasi di berbagai kota. Mahasiswa menolak kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dinilai tidak sebanding dengan perbaikan layanan akademik. Kebijakan tarif mahal justru mempersempit akses kelas bawah, sementara output mutu belum menunjukkan lonjakan signifikan.

Mutu pendidikan pertama-tama ditentukan kompetensi guru. Penelitian lintas negara berulang kali menegaskan bahwa faktor pengajar menyumbang efek terbesar pada capaian belajar—melampaui gedung megah atau perangkat digital mutakhir. Tanpa guru terlatih dan sejahtera, laboratorium canggih hanyalah dekorasi.

Proses peningkatan kapasitas guru harus berkesinambungan: pelatihan berbasis praktik kelas, komunitas belajar profesi, dan sistem karier yang jelas. Ketika ruang refleksi dan supervisi berjalan, inovasi pedagogi menyusul. Murid merasakan kelas yang memicu rasa ingin tahu, bukan sekadar mencatat diktat.

Fasilitas fisik memang penting—atap tidak bocor, perpustakaan terisi, laboratorium lengkap—namun tidak cukup. Banyak sekolah elit menonjolkan gedung ber-AC tetapi gagal membangun iklim psikologis yang aman dan inklusif. Mutu tercermin pada kultur belajar: apakah suara siswa didengar, apakah guru membuka ruang diskusi kritis?

Di perguruan tinggi, ironi serupa terlihat: UKT melonjak, tetapi sebagian dosen masih meninggalkan kelas demi proyek pribadi, dan laboratorium terbengkalai. Mahasiswa menilai uang yang dibayar tak sebanding dengan layanan yang diterima. Pendidikan bermutu tak seharusnya mahal, tapi bermakna.

Pelayanan pendidikan seharusnya holistik—mencakup konseling, kesehatan mental, dan akses bagi difabel. Sekolah yang ramah anak membangun penghargaan diri dan mencegah kekerasan. Inilah kualitas yang tak bisa dibeli lewat marmer lobi.

Transparansi anggaran wajib ditegakkan. Mahasiswa meminta rincian pemakaian UKT; orang tua ingin tahu ke mana larinya dana Bantuan Operasional. Ketika laporan finansial dibuka, kepercayaan publik terbangun, dan keputusan pembiayaan bisa dikritik berdasarkan data, bukan prasangka.

Pemerintah memang menyediakan Program Indonesia Pintar (PIP)—Rp450 ribu per tahun untuk SD, Rp750 ribu SMP, dan Rp1,8 juta SMA. Tetapi banyak keluarga masih harus menambal kekurangan transportasi, seragam, atau kuota internet. Bantuan itu perlu ditambah dan disalurkan tepat waktu agar tidak sekadar menjadi obat penunda putus sekolah.

Teknologi membuka peluang pemerataan: kelas hibrida, modul daring terbuka, dan platform pembelajaran adaptif. Namun, tanpa pelatihan literasi digital untuk guru dan siswa, papan pintar berubah jadi papan tulis mahal. Investasi pada SDM harus seimbang dengan perangkat keras.

Pada akhirnya, sekolah bermutu ditopang kemitraan: guru, orang tua, pemerintah daerah, lembaga filantropi, dan dunia usaha. Setiap aktor berbagi peran—dari penyediaan beasiswa hingga program magang—agar kampus maupun madrasah menjadi ekosistem yang menumbuhkan karakter, bukan sekadar mesin nilai rapor.

Kesimpulannya, pendidikan Indonesia hanya akan adil bila biaya tidak menjadi tembok pemisah antara si kaya dan si miskin. Hak belajar harus terjamin sejak PAUD hingga perguruan tinggi, apa pun warna kartu keluarga.

Kebutuhan dana besar memang tak terelakkan, tetapi cara memperolehnya harus proporsional dan transparan. Kampus tidak bisa menggeser beban ke mahasiswa tanpa audit mutu; sekolah tidak boleh menarik iuran gedung mewah saat toilet bocor.

Negara sudah mengalokasikan 20 persen APBN untuk pendidikan. Tantangannya adalah memastikan anggaran itu memperkuat guru, memperbaiki layanan, dan merawat fasilitas inti—bukan terserap birokrasi atau proyek mercusuar.

Kalau akses sudah setara, fokus bergeser pada peningkatan kualitas proses belajar: metode berbasis riset, kurikulum relevan, dan budaya literasi. Anak petani berhak menikmati guru terbaik sama seperti anak pegawai di kota.

Saat itulah frasa “orang miskin dilarang sekolah” kehilangan makna. Ia berubah menjadi kisah masa lalu yang kita kenang sebagai pelajaran pahit—bahwa sebuah bangsa hanya bisa maju jika tak seorang pun tertinggal di bangku kelas.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *