KATAJATIM.COM | SURABAYA – Bakal calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia tahun 2019-2024 Joko Widodo-Ma’ruf Amin telah mengumumkan Erik Tohir sebagai ketua tim pemenangan.
Berikutnya, kita semua tentu menunggu siapa yang akan menahkodai tim pemenangan kubu penantang, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno.
Kabarnya, angin mengarah kepada mantan panglima TNI Djoko Santoso. Tentunya, kita juga berharap siapapun yang menjadi ketua/nahkoda tim pemenangan agar tidak hanya berjuang memenangkan jagoannya. Melebihi itu, mereka harus memenangkan Indonesia.
Merawat Kebhinekaan
Para founding parents kita telah mewariskan sebuah bangsa yang beragam ini dengan perekat yang kokoh nan kuat yakni bhinneka tunggal ika.
Sepertinya mereka sadar betul bahwa bangsa yang penuh dengan kebragaman suku, etnis dan budaya ini pada waktunya akan mengalami benturan-benturan yang dapat mengancam persatuan yang menjadi semangat awal merebut kemerdekaan.
Bahkan dalam sebuah kesempatan sang proklamator Bung Karno pernah berucap, “perjuanganku lebih ringan sebab melawan penjajah, perjuanganmu lebih berat sebab kalian melawan saudara kalian sendiri”.
Ucapan Bung Karno tersebut adalah pengingat bagi siapapun pewaris bangsa agar tidak pernah mengorbankan semangat kebhinekaan untuk kepentingan apapun juga. Termasuk persoalan dukung-mendukung di pemilu tahun2019 mendatang.
Kebhinekaan dapat dirawat dengan tidak menciptakan anasir buruk berupa, fitnah, hasut intoleran, sentiment SARA dan narasi-narasi buruk lain yang tidak bersandar pada kesucian-kemurnian Pancasila dan cita-cita demokrasi.
Perang tanda pagar (baca:hashtag) semestinya juga diakhiri dan menggantinya dengan diskursus yang lebih manusiawi. Para nahkoda tim pemenangan ditantang untuk menciptakan strategi kampanye yang memiliki orientasi membangun Indonesia ke depan.
Bukan hanya infrastrukturnya tetapi juga manusianya.”bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia raya”, begitu kira-kira sebait ide dari lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Kita tentu tidak ingin bangsa yang dibangun dengan perjuangan yang berdarah-darah dan bertaruh nyawa ini bubar karena manusianya yang tidak sanggup menahan “syahwat” kekuasaan atau kebodohan terhadap satu hal yang dipertontonkan ke publik.
Gotong Royong
Bung Karno pernah berucap jika Pancasila diperas menjadi satu maka ia akan menjadi ekasila, gotong royong.
Dalam konteks etika, gotong royong dapat diartikan sebagai posisi ikut serta bersama-sama membangun, jika tidak bisa atau belum mampu memberikan alternatif-alternatif maka lebih baik diam dan tidak berbuat sesuatu apapun yang bisa merusak keadaan.
Perwujudan gotong royong dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah dengan inisiatif untuk berpartisipasi memberikan nilai tambah terhadap perilaku yang sesuai dengan status dan perannya.
Politisi menjadi politisi yang jujur, agamawan menjadi penasihat yang meneduhkan, polisi menjadi polisi yang bertindak sesuai hukum bukan atasan, rakyat jadilah rakyat yang memuja kebijaksanaan. Tidak dibolak-balik.
Pasca pemilihan presiden 2014 dan pilkada DKI 2016 bangsa ini seolah kehilangan ruh gotong royong itu. Sikap skeptis dan keakuan lebih banyak muncul daripada sikap menghargai satu sama lain.
Satu orang mengaku jika A adalah dia yang membuat, lalu satu orangnya lagi membantah jika A adalah ciptaan si B. Begitu seterusnya hinga muncul golongan “kecebong” dan “kampret” bagi saudaranya sendiri.
Dalam kondisi yang seperti ini para Cendikiawan dan Begawan diharapkan menjadi pencerah, namun sepertinya netralitas merupakan komoditas langka sehingga pada akhirnya mereka akan “cebong” atau “kampret” pada waktunya.
Sekali lagi, para nahkoda tim pemenangan ditantang untuk mengakhiri situasi yang tidak berkebudayaan ini. Konten-konten kampanye harus mampu melahirkan diskursus yang membawa masyarakat Indonesia ke masa depan yang lebih mengedepankan sikap cinta terhadap tanah airnya.
Tidak justru memanfaatkan situasi yang membelah ini demi kepentingan sesaat berupa kemenangan di 2019 sementara ada energy besar yang harus dihabiskan paska itu.
Pada akhirnya, tugas memenangkan Indonesia adalah tugas kita bersama sebagai bangsa. Rasanya sangat tidak adil jika mengembankan tanggungjawab itu pada mereka tanpa peran serta yang lain,bukan? Wallohu a’lam!
Oleh : Muhlis N. (Rakyat di bawah sandal)