Katajatim – Jakarta – Direktur Melanesiana Human Rights Center (MHRC), Jerry Alom, S.Sos.,M.Si, menyoroti program pembentukan Komponen Cadangan (Komcad) Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan yang dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM) dan berpotensi kuat terhadap praktik korupsi.
“Program Komcad di Ditjen Pothan dengan regulasi yang mengikat peserta Komcad seumur hidup untuk dimobilisasi kapan saja oleh negara merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak-hak warga negara”, katanya dalam keterangan tertulis.
Menurutnya, program ini jelas melanggar prinsip-prinsip HAM yang dijamin oleh konstitusi.
“Setiap individu memiliki hak atas kebebasan pribadi, termasuk hak untuk menentukan pilihan hidup tanpa paksaan dari negara dalam jangka waktu yang tidak terbatas,” ujar Jerry.
Ia menambahkan bahwa dasar hukum yang digunakan dalam kebijakan Komcad, yakni UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional, harus dikaji ulang.
“Dalam hukum internasional, konsep wajib militer atau mobilisasi seperti ini harus disesuaikan dengan prinsip proporsionalitas dan tidak boleh melanggar hak sipil seseorang,” katanya.
Selain aspek hukum, Jerry juga mengungkapkan kekhawatiran terhadap potensi korupsi yang muncul dari proses pengadaan dan rekrutmen Komcad. Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terdapat penggunaan anggaran ratusan miliar rupiah yang menyalahi peraturan perundang-undangan dalam program Komcad.
“Laporan BPK RI mengungkapkan ada sejumlah pengadaan dilakukan mendahului kontrak dan sebagian barang didatangkan sebelum ada anggaran, yang menimbulkan dugaan penyelewengan anggaran”, tegasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, temuan BPK ini menunjukkan adanya indikasi kuat terhadap potensi praktik pelanggaran tata kelola keuntungan negara yang baik dalam pengelolaan anggaran Komcad.
“Pengadaan yang tidak sesuai prosedur membuka peluang bagi praktik korupsi yang merugikan keuangan negara”, ungkapnya.
Selain itu, Jerry menilai bahwa celah korupsi dalam pelaksanaan Komcad sangat terbuka lebar, terutama dalam pengadaan logistik dan seragam peserta.
“Disini dibutuhkan peran audit internal yang terbuka dan tegas dilakukan, contoh saja ada beberapa laporan yang mengungkapkan adanya indikasi ketidaksesuaian antara dana yang dianggarkan dengan hasil yang diterima peserta dari soal uang saku maupun kualitas perlengkapan seperti seragam dll nya. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan program,” tambahnya.
Lebih lanjut, Jerry menyoroti bahwa tidak adanya pembinaan lanjutan bagi peserta setelah mereka menyelesaikan pendidikan merupakan bentuk lain dari pemborosan anggaran negara. Ia menilai hal ini sebagai indikasi kebocoran anggaran yang terstruktur.
“Setelah pelatihan selesai, peserta dibiarkan begitu saja tanpa ada jaminan atau program kesinambungan. Ini menunjukkan tidak adanya perencanaan yang matang dan lebih menyerupai proyek anggaran semata,” kritiknya.
Menurut Jerry, setiap program yang menggunakan dana publik harus dirancang secara efektif dan akuntabel.
“Kemhan seharusnya lebih transparan dalam pengelolaan anggaran dan memastikan bahwa setiap rupiah yang digunakan memberikan manfaat nyata bagi pertahanan negara, bukan malah menjadi beban bagi peserta dan potensi korupsi,” katanya.
Baginya, warga negara yang telah dilatih pendidikan militer ini juga sangat rawan melahirkan praktik premanisme dan kriminal jika tidak dibina berkelanjutan.
“Program Komcad akan melahirkan potensi praktik premanisme dan kriminal jika peserta program ini yang telah dilatih kemiliteran tidak dibina secara berkelanjutan”, pungkasnya.