KataJatim.com – Surabaya – Aksi penolakan nelayan terhadap Proyek Reklamasi Surabaya Waterfront Land memunculkan keprihatinan tersendiri. Dikatakan Dr. Jokhanan Kristiyono, M.Med.Kom., pakar komunikasi dari Stikosa AWS, konflik ini menjadi contoh nyata gagalnya proses komunikasi.
“Proyek ini memang menjadi sorotan karena memicu berbagai kontroversi, terutama dari para nelayan yang merasa terancam mata pencahariannya,” ungkap Ketua Stikosa AWS, kampus komunikasi tertua di Indonesia Timur ini, di Surabaya, Minggu (4/8/2024).
Jokhanan menilai, aksi unjuk rasa para nelayan ini muncul karena banyak hal. Khususnya yang menyangkut ancaman terhadap mata pencaharian, karena reklamasi akan mengurangi luas area laut yang bisa digunakan untuk menangkap ikan, sehingga secara langsung berdampak pada pendapatan nelayan.
“Mereka juga keberatan atau khawatir jika proyek reklamasi merusak ekosistem laut, mengganggu rantai makanan, dan mengurangi populasi ikan. Hal ini akan berdampak jangka panjang pada keberlanjutan sumber daya laut,” terangnya.
Hal lain yang jelas tak kalah penting, kata Jokhanan, ini muncul sebagai dampak sosialisasi yang keliru, minim, atau bahkan tidak ada. “Nelayan mungkin merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan kurang mendapatkan sosialisasi yang memadai tentang dampak proyek ini terhadap kehidupan mereka,” sesalnya.
Dampak Potensial dari Proyek Reklamasi
Dari beberapa informasi yang ada, proses reklamasi ini jelas membutuhkan kajian ekstra. Karena selain dampak terhadap nelayan, proyek reklamasi juga memiliki potensi dampak negatif lainnya. Seperti peningkatan risiko banjir, pencemaran lingkungan, dan bentuk konflik sosial yang berpangkal dari perbedaan kepentingan antara pihak pengembang, pemerintah, dan nelayan.
Disampaikan Jokhanan, untuk mengatasi masalah ini, diperlukan solusi yang komprehensif, melibatkan berbagai pihak, dan mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial.
“Salah satu yang paling penting adalah komunikasi. Termasuk di dalamnya strategi yang mampu mengakomodir kepentingan pemerintah, pengembang, dan nelayan. Ada kajian ekstra terkait studi lingkungan yang komprehensif, hingga kompensasi yang adil kepada nelayan,” jelas penulis buku ‘Konvergensi Media: Transformasi Media Komunikasi di Era Digital’ ini.
Sebagai komunitas yang hidup dari laut, nelayan jadi pihak yang paling penting untuk dilibatkan sebagai pengambil keputusan. Tuntutan akan dialog dan negosiasi serta kompensasi yang adil dari nelayan, lanjut dia, menunjukkan adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara pihak pengembang, pemerintah, dan nelayan. “Nelayan merasa posisinya lemah, sehingga perlu diperjuangkan,” tegasnya.
Untuk memperbaiki situasi ini, Jokhanan menggarisbawahi aspek komunikasi yang efektif. Seperti dialog, sosialisasi yang transparan, penjelasan pakar yang berimbang, mencari solusi bersama, hingga pembahasan khusus terkait kompensasi.
“Pembahasan khusus terkait kompensasi memiliki potensi besar untuk mengurangi risiko konflik dalam proyek reklamasi. Setidaknya nelayan sebagai pihak yang paling dirugikan akan merasakan keadilan,” ingat Jokhanan.
Ketika nelayan merasa bahwa kerugian mereka diakui dan dikompensasi secara adil, maka rasa ketidakadilan dan amarah yang selama ini mereka rasakan dapat berkurang. Ini menciptakan perasaan bahwa mereka diperlakukan secara manusiawi dan dihargai sebagai bagian dari masyarakat.
“Kompensasi yang ada juga membuat nelayan lebih terbuka untuk diajak berdiskusi dan bekerja sama mencari solusi terbaik. Mereka akan merasa lebih aman dan terjamin masa depannya, sehingga lebih bersedia untuk menerima perubahan yang terjadi,” terang Jokhanan.
Namun, tambah Jokhanan, kompensasi yang dangkal tentu tidak cukup untuk menyelesaikan semua masalah. “Selain kerugian materiil, kompensasi juga berupa bantuan dalam bentuk lain, seperti pelatihan keterampilan baru, bantuan modal usaha, atau jaminan pekerjaan. Bentuk kompensasi yang diberikan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan nelayan,” jelasnya.
Proses penentuan dan penyaluran kompensasi harus dilakukan secara transparan dan melibatkan perwakilan nelayan. Hal ini untuk menghindari kecurigaan dan memastikan bahwa kompensasi benar-benar sampai kepada pihak yang berhak. Dan Kompensasi ini, kata Jokhanan, hanyalah solusi jangka pendek.
“Untuk mengatasi masalah secara fundamental, perlu ada upaya untuk mengembangkan sektor alternatif yang berkelanjutan. Ingat lho, ini soal rezeki. Soal hajat hidup,” kata Jokhanan.
Kompensasi yang Tepat
Lebih jauh, ia pun mencoba memberi gambaran kompensasi yang diberikan kepada nelayan. Pertama, kata dia, kompensasi finansial langsung. Lalu membantu nelayan untuk memulai usaha baru, pemberian asuransi, memberikan pelatihan keterampilan baru, pembinaan dalam bidang manajemen usaha dan pemasaran, penyediaan fasilitas umum yang mendukung kegiatan usaha, bahkan jika diperlukan, merelokasi nelayan ke lokasi yang lebih aman dan produktif untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan.
“Agar kompensasi yang diberikan benar-benar efektif, perlu melibatkan nelayan secara aktif dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program kompensasi. Tanyakan langsung kepada mereka bentuk kompensasi apa yang paling mereka butuhkan dan efektif. Lalu pastikan proses penentuan dan penyaluran kompensasi dilakukan secara transparan dan akuntabel,” terang Jokhanan.
Hal yang tak kalah penting, lanjut dia, lakukan evaluasi secara berkala untuk melihat sejauh mana kompensasi yang diberikan telah mencapai tujuannya. Evaluasi ini dapat melibatkan wawancara dengan nelayan, analisis data, dan studi kasus.
“Integrasikan program kompensasi dengan program pembangunan lainnya yang relevan, seperti pengembangan kawasan pesisir, pengelolaan sumber daya laut, dan pemberdayaan masyarakat. Atau hal lain yang tujuan utamanya mensejahterakan,” tutup Jokhanan. *