KataJatim.com – Jakarta — Wakil Menteri Transmigrasi (Wamen Transmigrasi) Viva Yoga Mauladi menyambut positif rencana investasi China dalam pengembangan industri bambu di kawasan transmigrasi. Hal itu disampaikannya saat menerima kunjungan delegasi Promosi Perdagangan Indonesia–Guangdong (PPIG) di Kantor Kementerian Transmigrasi, Kalibata, Jakarta, Rabu (18/12/2025).
Delegasi PPIG dipimpin oleh Indonesia Executive Chairman Mr. Sim dan Director of The Economic Diplomacy Office Mr. Jay Yu, dengan agenda penjajakan investasi pengembangan bambu varietas reed bamboo di Indonesia.
Dalam paparannya, PPIG menjelaskan bahwa reed bamboo memiliki nilai ekonomi tinggi dan potensi industri yang luas. Bambu jenis ini dapat diolah menjadi serat bambu (bamboo fiber) yang menjadi bahan baku berbagai produk tekstil dan aksesori, seperti kaos, jaket, kaos kaki, hingga penutup kepala. Produk berbahan serat bambu dinilai memiliki keunggulan dari sisi kenyamanan, daya tahan, dan ramah lingkungan.
Tak hanya batangnya, daun reed bamboo juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Selain itu, tanaman ini berperan besar dalam menyerap karbon dioksida sehingga berpotensi masuk dalam skema pasar karbon bernilai tinggi.
“Reed bamboo tidak hanya bernilai industri, tetapi juga bernilai ekologis karena mampu mereduksi karbon dan mendukung ekonomi hijau,” ujar Jay Yu.
Dari sisi budidaya, reed bamboo tergolong mudah dikembangkan. Tanaman ini dapat bertahan hingga 15 tahun tanpa pupuk maupun rekayasa budidaya khusus. Dengan lahan sekitar 0,27 hektare, petani sudah dapat menanam bambu ini secara produktif. Dalam skala 1 hektare, reed bamboo disebut mampu menghasilkan keuntungan hingga 12.750 dolar AS per tahun, dengan harga bibit sekitar 0,6 dolar AS per pohon.
PPIG menyatakan ketertarikannya untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen serat bambu terbesar di Asia Tenggara. Investasi direncanakan terintegrasi, mulai dari penanaman hingga pengolahan, termasuk pembangunan pabrik. Setiap pabrik direncanakan dibangun untuk melayani lahan seluas sekitar 70 hektare.
Menanggapi rencana tersebut, Viva Yoga menyebut Indonesia memiliki modal sosial dan ekologi yang kuat untuk pengembangan industri bambu. Menurutnya, masyarakat Indonesia dari Sabang hingga Merauke sudah akrab dengan tanaman bambu, baik yang tumbuh alami maupun hasil budidaya.
“Bambu sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita. Banyak kawasan transmigrasi yang sangat potensial untuk pengembangan bambu secara terencana dan modern,” kata Viva Yoga.
Ia mengungkapkan bahwa pengembangan bambu memang telah menjadi salah satu fokus Kementerian Transmigrasi. Bahkan, belum lama ini dirinya mengunjungi Yayasan Bambu Indonesia di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang memiliki koleksi hingga 161 varietas bambu.
“Kami sedang memetakan varietas bambu yang paling cocok dikembangkan di kawasan transmigrasi sesuai karakter lahan dan kebutuhan industri,” jelasnya.
Viva Yoga juga mencontohkan kerja sama sebelumnya di Kawasan Transmigrasi Ponu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, yang mengembangkan bambu sebagai biomassa untuk pembangkit listrik, bekerja sama dengan anak perusahaan BUMN. Proyek tersebut saat ini masih dalam tahap pengembangan.
Lebih jauh, Viva Yoga menegaskan bahwa investasi bambu sejalan dengan transformasi kebijakan transmigrasi di era Presiden Prabowo Subianto, yang menempatkan industrialisasi sebagai kunci peningkatan kesejahteraan.
“Transmigrasi saat ini bukan lagi sekadar memindahkan penduduk, tetapi membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi berbasis industri dan sumber daya lokal,” tegasnya.
Dalam setiap investasi di kawasan transmigrasi, Viva Yoga menekankan pentingnya pelibatan transmigran dan masyarakat lokal. Menurutnya, keterlibatan langsung masyarakat tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga menciptakan rasa memiliki dan keberlanjutan program.
“Jika masyarakat dilibatkan sejak awal, mereka akan ikut menjaga dan memastikan investasi ini berjalan berkelanjutan,” pungkasnya. **
