Tantangan dan Dilema Penggunaan AI bagi Media dan Jurnalis

Ekbis Gaya Hidup Internasional Nasional Organisasi Pendidikan & Kesehatan Pengusaha Teknologi Trending Now

KataJatim.com – Jakarta – Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menggelar diskusi on line bertajukkan Diskusi Kecerdasan Artifisial AI dalam tantangan dan dilema penggunaan AI bagi media dan jurnalis pada 15 Agustus 2024. Penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam industri media dan jurnalistik menghadirkan beragam tantangan dan dilema yang kompleks. Teknologi ini, meskipun menawarkan banyak keuntungan dalam hal efisiensi dan inovasi, juga membawa sejumlah risiko yang harus dikelola dengan hati-hati. Berikut adalah ulasan komprehensif mengenai tantangan dan dilema penggunaan AI bagi media dan jurnalis berdasarkan beberapa sumber penting. Transformasi dan Disrupsi Industri Media

AI telah merevolusi industri media dengan mengotomatiskan berbagai tugas berulang dan menyederhanakan proses yang kompleks, memungkinkan jurnalis untuk fokus pada tugas-tugas yang lebih kreatif dan analitis. Teknologi ini digunakan dalam berbagai aplikasi, termasuk Generative AI yang dapat merangkum, menerjemahkan, dan menganalisis data besar, serta Predictive AI yang digunakan untuk transkripsi wawancara dan rekomendasi konten. AI juga berperan dalam inovasi produksi dan distribusi berita, memungkinkan analisis data dalam jumlah besar, menghasilkan konten yang lebih relevan dan menarik. Namun, disrupsi yang dihadirkan oleh AI juga menimbulkan kekhawatiran yang signifikan. Misalnya, otomatisasi yang berlebihan dapat mengancam pekerjaan jurnalis dan menurunkan kualitas konten yang diproduksi. Selain itu, AI berpotensi menggantikan sejumlah peran jurnalis dalam proses editorial, rentan menghilangkan sentuhan manusia yang esensial dalam jurnalisme. Kehilangan ini dapat berdampak pada narasi yang kaya kedalaman dan keunikan, yang kerap hanya dapat dicapai oleh jurnalis berpengalaman.

Etika dan Kualitas Informasi

Penggunaan AI dalam media juga memunculkan sejumlah tantangan etika, terutama terkait dengan akurasi dan kredibilitas informasi. AI memiliki potensi untuk menciptakan konten yang sangat realistis tetapi tidak akurat, yang dapat memperburuk masalah misinformasi dan disinformasi. Kekhawatiran mengenai deepfake dan konten manipulatif lainnya juga menambah beban etika yang harus ditangani oleh industri media. Dalam konteks ini, menjaga standar etika dalam pelaporan menjadi lebih sulit, terutama ketika AI digunakan untuk membuat keputusan editorial.

AI juga membawa risiko bias, yang mungkin muncul dari data pelatihan yang tidak representatif atau dari algoritma itu sendiri. Ini dapat menyebabkan penyebaran informasi yang tidak seimbang atau tidak adil, yang pada gilirannya dapat merusak kepercayaan publik terhadap media. Oleh karena itu, media perlu mengadopsi pendekatan yang sangat hati-hati dalam penggunaan AI, termasuk memastikan transparansi dalam penggunaannya dan mempertahankan kontrol editorial manusia, menjaga akurasi dan integritas jurnalistik.

Regulasi dan Kepemilikan Konten

Dilema lain yang muncul dari penggunaan AI adalah terkait dengan kepemilikan konten dan regulasi yang diperlukan untuk mengawasi teknologi ini. Di banyak negara, regulasi AI sedang dalam tahap pengembangan, tetapi masih ada kekosongan hukum yang signifikan dalam hal kepemilikan hak cipta untuk konten yang dihasilkan oleh AI. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan konflik antara pencipta konten manusia dan AI, serta pertanyaan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab jika konten yang dihasilkan oleh AI terbukti bermasalah atau melanggar hukum.

Indonesia, seperti banyak negara lainnya, sedang berupaya mengembangkan regulasi yang dapat mengatasi risiko-risiko ini. Namun, tantangannya adalah bagaimana membuat regulasi yang tidak hanya mengimbangi inovasi tetapi juga melindungi kepentingan publik. UU ITE dan pedoman etika yang diusulkan oleh Dewan Pers adalah beberapa langkah awal yang penting, tetapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa AI dapat digunakan secara bertanggung jawab dalam media.

Masa Depan Media dalam Era AI

Masa depan jurnalisme di era AI menuntut adaptasi yang cepat dan pengembangan keterampilan baru bagi para jurnalis. Di satu sisi, AI menawarkan peluang untuk meningkatkan efisiensi, kreativitas, dan personalisasi konten. Di sisi lain, jurnalis perlu mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang data science dan algoritma untuk tetap relevan dan kompetitif di pasar kerja yang semakin dipengaruhi oleh teknologi ini.

Kolaborasi simbiotik antara AI dan jurnalis manusia mungkin menjadi solusi ideal, di mana AI berfungsi sebagai alat bantu yang memperkaya pekerjaan jurnalis tanpa menggantikan peran sentral mereka dalam menjaga integritas dan etika jurnalistik.

Secara keseluruhan, penggunaan AI dalam media dan jurnalistik adalah pedang bermata dua yang menawarkan peluang besar tetapi juga menghadirkan tantangan yang tidak bisa diabaikan. Adaptasi yang bijak, regulasi yang tepat, dan komitmen terhadap standar etika yang tinggi adalah kunci untuk memanfaatkan teknologi ini secara maksimal tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar jurnalisme.

Poin Tambahan Narasumber

1. Prof. Hammam Riza

Prof. Hammam Riza, Ketua Umum KORIKA, menekankan pentingnya AI dalam evolusi jurnalisme, di mana AI dapat membantu dalam inovasi pembuatan konten, memerangi misinformasi, dan meningkatkan produktivitas jurnalis. Namun, ia juga menggarisbawahi tantangan yang muncul, seperti otomatisasi yang dapat mengancam pekerjaan jurnalis, serta risiko hilangnya sentuhan manusia dalam jurnalisme. Hammam juga menekankan pentingnya etika dalam penggunaan AI, dengan AI dilihat sebagai alat bantu yang memperkaya pekerjaan jurnalis, bukan sebagai ancaman yang menggantikan mereka. Dalam konteks ini, menjaga keamanan data dari manipulasi AI seperti deepfake juga menjadi perhatian utama, di samping upaya untuk menciptakan regulasi yang adil dan seimbang dalam penggunaan AI di media.

2. Dr. Ninik Rahayu

Dr. Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers, membahas bagaimana AI telah merevolusi industri media dengan mengotomatiskan tugas-tugas berulang dan mengoptimalkan proses yang kompleks, memungkinkan jurnalis untuk fokus pada tugas yang lebih kreatif dan analitis. Namun, ia juga menyoroti risiko yang terkait dengan penggunaan AI, termasuk potensi ketidakakuratan, misinformasi, bias dalam algoritma, serta pelanggaran hak cipta dan privasi. Untuk mengatasi tantangan ini, Ninik menekankan pentingnya transparansi dalam penggunaan AI dan tanggung jawab editorial yang tetap berada di tangan manusia untuk memastikan kepatuhan terhadap undang-undang dan kode etik jurnalistik. Dewan Pers saat ini sedang menyusun pedoman pemanfaatan AI di media untuk membantu insan pers dalam menggunakan teknologi ini secara etis dan bertanggung jawab.

3. Donny B.U.

Donny B.U., Advisor ICT Watch / Ketua Umum Siberkreasi, dalam diskusinya menyoroti disrupsi yang dibawa oleh AI terhadap media massa dan profesi jurnalis. Ia mencatat tren perubahan kanal berita yang didorong oleh AI, di mana algoritma semakin mengambil peran dalam menentukan apa yang dikonsumsi oleh audiens. Donny mengingatkan tentang pentingnya etika dalam penggunaan AI untuk personalisasi konten dan produksi konten yang efektif. Ia juga mendorong media untuk tidak hanya menyeleraskan kerja jurnalistik pada regulasi yang ada, tetapi juga berinisiatif dalam mengembangkan kapasitas SDM agar paham dengan teknologi digital dan AI. Selain itu, kolaborasi multistakeholder penting untuk memastikan tata kelola AI yang etis, aman, dan bertanggung jawab, serta menguatkan unsur kesetaraan, perlindungan data pribadi, dan hak atas kekayaan intelektual.

4. Arkka Dhiratara

Arkka Dhiratara, Satgas AI Dewan Pers / CEO HukumOnline.com dalam paparannya menyoroti kekhawatiran yang meningkat di kalangan perusahaan media terkait perkembangan AI, terutama model generatif yang semakin canggih. AI generatif mampu menghasilkan konten yang sangat realistis, yang menimbulkan ketakutan akan potensi penggantian jurnalis manusia dan pencipta konten. Hal ini memicu kekhawatiran terkait keaslian konten, risiko penyebaran misinformasi, dan deepfakes, serta mengancam kepercayaan publik terhadap media. Arkka juga membahas aspek etika dan hukum terkait kepemilikan konten yang dihasilkan oleh AI, hak kekayaan intelektual, dan bias yang mungkin terkandung dalam algoritma AI. Dengan demikian, regulasi AI yang adil dan tepat menjadi penting untuk mengatasi risiko yang muncul seiring perkembangan teknologi ini. **


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *