KATAJATIM.COM | MALANG – Moralis, merasa paling baik, macam yang paling etis, awas jatuh menukik. Sang martir, inginnya adu fisik, cupet dan sesat pikir, buah intrik politik. Fatalis, main yang aman-aman, seolah apolitis, takluk pada keadaan. Ada ada saja, sifat kawan kita, dipelihara dan dibudidaya. Macam-macam saja kelakuan kita, semoga masih bisa bahagia.” [1]
Baru-baru ini nama Ilham banyak disebut-sebut publik akibat intruksinya yang bisa dikatakan cukup kontroversial lantaran menyinggung beberapa institusi organisasi-organisasi besar yang ada di Universitas Muhammadiyah Malang. Kalau boleh buka-bukaan, si Ilham ini merupakan salah satu aktivis kaum mapan lantaran si Ilham diketahui merupakan Ketua Umum BEM FKIP Universitas Muhammadiyah Malang, meskipun si Ilham ini secara etos membuat penulis sedikit bertanya tentang identitas ke-aktivisannya yang seperti apa. Bagi penulis, berangkat dari kedudukan yang “cukup mapan” tersebut nampaknya paling dominan melegitimasi setiap sikap, pola pikir bahkan perkataan yang sifatnya intruktif dan dirasa sangat kontroversial. Isi intruksi tersebut begini :
“Assalamualaikum
Tolong bahwasannya jika menemui ada selembaran-selembaran brosur terkait gabung organisasi omex baik itu HMI, PMII, maupun KAMMI tolong disobek maupun serahkan ke pak @Agus Alfirdaus Nuzula maupun saya, demi menjaga keamanan kegiatan pesmaba ini dulu, karena tidak ada perizinan dari pihak univ. Terima kasih. Wassalamu’alaikum.” Kata Ilham dalam intruksinya.
Menebak Maksud Si Ilham
Untuk menebak maksud si Ilham sebenarnya kita harus melihat realitas yang terjadi di lapangan yang menjadi latar belakang berubahnya pola pikir yang mempengaruhi tindakan Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa FKIP UMM ini. Secara kronologis, saat ini memang Universitas Muhammadiyah Malang sedang memasuki masa orientasi atau bisa disebut masa perkenalan mahasiswa baru terhadap kehidupan kampus (pesmaba). Pada hari pertama yakni tanggal 3 September 2018 kemarin seluruh organisasi baik UKM, LSO bahkan Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (OMEK) berinisiatif memperkenalkan diri kepada mahasiswa-mahasiswa baru. Mereka masing-masing mempunyai seni organisasi tersendiri dalam memperkenalkan wadah tempat mereka mengupgrade soft skill mereka. Seni tersebut antara lain menyebarkan brosur oprec bagi setiap LSO dan UKM serta pengenalan beberapa tulisan yang bagi penulis cukup progresif diperkenalkan oleh Omek seperti HMI, KAMMI dan PMII.
Mulai hari pertama yakni (3/9/18) , suasana panas di kampus 3 Universitas Muhammadiyah Malang memang cukup panas. Mulai dari upaya pembredelan lebih terfokus kepada omek, mulai dari pengambilan brosur oleh mahasiswa tidak dikenal, Wapresma BEM Universitas Muhammadiyah Malang, pemanggilan oknum terkait oleh beberapa Wakil Dekan sampai harus melibatkan aparat keamanan kampus. Represifitas non fisik tersebut terus terjadi hingga sore menjelang maghrib ketika mahasiswa baru dibubarkan. Hal tersebut terjadi lantaran tuduhan beberapa oknum bahwa Omek yang melakukan pengenalan belum mengantongi izin dari pihak Universitas. Padahal menurut hemat penulis secara sederhana, izin tersebut sebenarnya baru harus diurus ketika mereka menggunakan fasilitas yang dipunya oleh kampus, tapi faktanya yang dilakukan oleh omek tidak demikian lantaran yang mereka tempati dan gunakan waktu itu merupakan jalan umum yang bahkan bisa digunakan masyarakat luas untuk berlalu lalang.
Peristiwa tersebut berlanjut hingga hari kedua (4/9/18). Pembagian brosur oleh UKM dan LSO serta buletin tetap dilakukan oleh Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (omek) tetap dilakukan. Namun, menariknya tiba-tiba si Ilham mengeluarkan intruksi yang telah diurai penulis di awal tulisan. Dengan legitimator apa? Membawa kepentingan siapa? Dari pihak omek sendiri sama sekali belum mebgetahuinya karena si Ilham cukup tertutup untuk mengklarifikasinya. Di dalam intruksi tersebut hanya menyebutkan “menjaga keamanan karena belum ada izin dari pihak Universitas”. Izin yang lagi-lagi ditekankan, faktanya dari pihak omek sendiri sudah melampirkan surat yang bersifat pemberitahuan kepada pihak birokrasi kampus dan telah disetujui.
Mirisnya, semakin kasus ini viral fakta-fakta terbaru makin bermunculan. Selain secara diksi menjaga keamanan yang berarti melegitimasi stigma negatif yakni menganggap organisasi yang telah disebutkan diatas berpotensi mengganggu stabilitas umum dalam artian membuat kericuan horizontal, penulis menduga disini ada upaya melekatkan stigma radikalisasi organisasi mahasiswa eksternal kampus. Fakta tersebut ditemukan berupa chat bahwa panitia telah mengklaim organisasi mahasiswa eksternal merupakan organisasi yang mengakomodir paham radikalisme yang beberapa waktu lalu sarat diberitakan.
Tidak Bisa Disikapi dengan Remeh
Persoalan ini cukup serius untuk dicermati bersama. Bahwa yang disebut oleh si Ilham menyinggung beberapa organisasi besar seperti HMI, PMII dan KAMMI. Yang paling harus dicermati oleh tiap organisasi ini bahwa pada kalimat tersebut tidak disebutkan scope yang lebih spesifik seperti misal HMI UMM, PMII UMM dan KAMMI UMM, tetapi secara institusi tunggal dari setiap organisasi mereka. Selain itu, merujuk terhadap upaya pencemaran nama baik dengan stigma negatif seperti mengklaim organisasi mahasiswa eksternal mengakomodir paham radikalisme tentu juga harus ditindak lanjuti karena hal ini merupakan upaya pencemaran nama baik organisasi yang disebutkan. Mereka nampaknya kurang membaca, padahal beberapa waktu lalu pasca terjadinya pengeboman banyak rekomendasi datang dari para akademisi tentang pertimbangan omek dibolehkan masuk kampus baca radarmadura.jawapos.com salah satunya [2]. Baik si Ilham dan si pendamping mahasiswa baru saya rasa bisa membaca dengan rinci mengenai hal tersebut.
Menebak Landasan Melegitimasi Aksi
Penulis tetap memposisikan Ilham sebagai Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan FKIP terlepas dari background maupun kepentingan siapa yang dia bawa. Maka yang penulis sangat ingin tanyakan kepada si Ilham sejauh apakah kewenangan yang telah diatir guna menjalankan aksi tersebut, bukankah konsep baik negara hingga kampus sebagai miniatur negara selama ini telah mengamini Resthctaat yang artinya bahwa hukum merupakan alat/produk politik guna membatasi kekuasaan ? Jika kita merujuk kepada Buku Pedoman Akademik berdasarkan SK Rektor No 154 Tahun 2006 tentang Pokok-Pokok Pembinaan Lembaga Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Malang yang sering digunakan seperti BAB II soal Lembaga Kemahasiswaan yang Dibentuk dan yang Dibina pasal 8 kalau kita menilik substansi hukumnya yakni sebatas untuk memperjelas kedudukan lembaga-lembaga internal dibawah naungan kampus tanpa ada unsur memberikan hak mutlak untuk membubarkan apapun. Atau melompat pada Bab III sampai Bab XII tidak ada poin yang melegitimasi individu mewakili institusi BEM Fakultas maupun instansi yang lain dalam membredel perkenalan organisasi ekstra mahasiswa. Pun meskipun sudah direvisi terakhir menjadi SK Rektor no 38 tahun 2008 tidak mengatur perihal hal tersebut. Jika kita menspesifikan apa saja yang mengatur Organisasi Ekstra Mahasiswa malah hanya akan kita temukan dalam SK Nomor 26/DIKTI/KEP/2002 bahwa organisasi mahasiswa kampus “hanya dilarang” melakukan aktivitas politik seperti kampanye politik, mendirikan partai politik dan membuat sekretariat di kampus, faktanya omek di Universitas Muhammadiyah Malang tidak melakukan hal tersebut.
Bahkan peraturan PP Muhammadiyah maupun AD/ART Muhammadiyah belum ada yang mengatur terkait pelarangan Ormek, namun barangkali penulis kurang jeli dalam mengamati silahkan dibalas dengan tulisan atau bagaimana untuk memberitahu legitimasi melakukan upaya yang dilakukan si Ilham. Malah intruksi tersebut seolah mencederai harmonisasi kehidupan organisasi di Universitas Muhammadiyah Malang dan mencederai hak individu maupun institusi. Bayangkan saja yang digunakan si Ilham atas legitimasi kampus sehingga secara eksplisit dapat diketahui bahwa Ilham atas nama Universitas mencederai hak berserikat berkumpul dan menyatakan pendapat yang telah diatur dalam pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 selaku konstituen tertinggi menurut hirarki perundang-undangan.
Distorsi Intelektualitas si Ilham
Sampailah pada penghujung tulisan ini setelah beberapa paragraf menguraikan apa yang sebenarnya menjadi permasalahan mengenai si Ilham. Mulai dari awal intruksi, fakta dan landasan sebagai legitimator berubahnya pola pikir sampai berujung tindakan yang menjadi bukti kemunduran sebuah moralitas elite kaum mapan sekelas BEM Fakultas. Mirisnya hal tersebut di intruksikan kepada mahasiswa baru yang notabene belum mengetahui apapun mengenai organisasi yang hidup di lingkungan kampus. Selain sebagai penghambat upaya penanaman makna dari demokrasi di lingkungan kampus hal ini benar-benar sangat bertentangan dengan nilai-nilai toleransi dan modernitas Muhammadiyah selaku institusi yang menaungi Universitas Muhammadiyah Malang. Padahal seluruh organisasi tersebut merupakan organisasi eksternal berbasis perkaderan yang substansi tujuannya yakni mewadahi mahasiswa dalam mengasah kepemimpinan san manajemen organisasi yang tentu mendorong peningkatan mutu sumber daya manusia yang ada di universitas.
Mengutip Nitsuo Nakamura dan Lance Castles selaku sosiolog pernah membeberkan penelitiannya tentang Muhammadiyah bahwa Muhammadiyah adalah suatu bentuk organisasi sosial dari kelompok Islam yang tidak doktriner , bahkan Muhammadiyah merupakan suatu kumpulan individu yang sangat menghargai pengabdian pribadi [3]. Sehingga jelas aksi si Ilham sebenarnya dapat mencederai banyak hal yang selama ini menjadi identitas sejarah bagaimana karakter organisasi sosial Muhammadiyah. Menghambat perubahan sosial yang bertaraf maju karena “mandek” dengan larangan berorganisasi untuk mengasah soft skill yang dibutuhkan mahasiswa saat nanti berperan dalam kehidupan masyarakat dengan melabelkan stigma negatif. Di lain sisi dapat menimbulkan konflik horizontal yang makin memanas di kalangan organisasi yang ada di Universitas Muhammadiyah Malang. Yang paling baik adalah bagaimana terus berbuat guna perbaikan-perbaikan yang positif bagi Fakultas, Universitas serta bangsa dan negara. Intinya satu “tetap semangat” khususnya bagi organisasi mahasiswa ekstra kampus.
Oleh : Faris Fauzan Abdi (Mahasiswa Baru Universitas Muhammadiyah Malang)