Romantisme Desa, Dulu dan Kini

Daerah Opini Sosial

KataJatim.com – Opini, Desa seringkali kita asosiasikan dengan kehidupan yang penuh damai, harmonis, jauh dari hiruk pikuk persoalan politik praktis. Kehidupan yang berjalan seimbang mengikuti ritme alam, sehingga kehidupan di desa seringkali menjadi objek perhatian mulai dari setting film bunga desa, lagu-lagu desa, hingga promosi obat herbal ala desa pun laris manis disajikan.

Ya memang benar, tapi itu narasi tentang desa tempo dulu. Kini kehidupan di desa sudah jauh berubah, bahkan nyaris tidak ada bedanya dengan kehidupan di kota. Maka narasi desa hari ini bukan lagi tentang permainan kelereng anak kecil ataupun kicauan burung-burung indah dipagi hari.

Sejak reformasi bergulir, sebetulnya sejak saat itu pula desa sudah mengalami masa-masa transisi, puncaknya ketika pemerintah melahirkan regulasi undang-undang desa sebagai sebuah langkah politik hukum untuk merubah praktik pemerintahan terpusat menjadi menyebar. Maka kini warga desa terutama elit-elit desa makin pintar bicara politik, fasih bicara agenda-agenda pemberdayaan masyarakat, serta lincah menghitung detail angka-angka proyek.

Pada titik inilah kemudian melahirkan dana desa sebagai politik angaran atas konsekuensi logis undang-undang desa. Jadi setiap desa mendapat kucuran dana dalam jumlah yang besar serta kewenangan yang besar pula. Hal ini memang sengaja diberikan pemerintah pusat pada desa, agar desa semakin kuat, mandiri, dan berdaulat, yang tujuan besarnya adalah untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Lebih jauh kedepan, bisa dibilang kehidupan di desa rasanya bak seperti di kota. Bayangkan saja ketika memasuki tahun politik atau tahun demokrasi, warga desa selain dihadapkan pada agenda politik nasional dan daerah, mereka juga memiliki agenda politik sendiri yakni pilkades.

Mungkin ini yang dinamakan desa zaman now, mempunyai kewenangan yang besar serta anggaran yang besar pula, namun apakah dengan kewenangan dan anggaran yang besar desa bisa menjadi makmur serta rakyatnya sejahtera….? …. Jawabannya PASTI BISA, jika integritas dan moralitas individu pelaksana kebijakan tersebut bagus.

Saya tidak ingin bercerita tentang polemik dana desa pada tulisan ini, karena sudah banyak diberbagai media yang membicarakan, mulai dari isu-isu proyek fiktif, tidak adanya transparansi anggaran, hingga isu tentang dana desa yang digunakan untuk pesta perkawinan. Faktor penyebabnya tentu tidak tunggal. Ada penyalahgunaan karena lemahnya integritas, tapi ada pula kesalahan karena rendahnya kompetensi mengolah uang dalam jumlah yang besar.

Kembali kepada pembahasan, dimana wajah desa yang dulu dan kini telah banyak mengalami perubahan yang signifikan. Jika pembaca pernah dibesarkan di sebuah desa tentunya merasakan dinamika yang terjadi disekitarnya, mungkin saja dari aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, maupun dari aspek pendidikan. Cobalah kita tengok sendiri desa kita masing-masing. Apakah rasanya sudah seperti di kota ataukah masih sama seperti desa-desa sebelum reformasi meski saat ini sudah banyak bergulir ratusan program, milyaran anggaran dana yang digelontorkan pemerintah pusat untuk desa dan warganya demi membangun Indonesia melalui pinggiran…? Jawabannya anda sendiri yang tau.

Ada sedikit guyonan ketika saya berbincang santai dengan kawan-kawan lintas desa terkait dengan karakteristik desa maju dan tertinggal, ternyata sebagian besar kawan-kawan di desa menjadikan jalan raya desa dan sinyal internet sebagai parameter kemajuan desa, serta adanya sarana dan prasarana olahraga bagi kaum mudanya. Alasan mereka pun sangat sederhana, jika akses jalan raya dan akses jalan dunia maya (internet) itu bagus, maka masyarakat sangat terbantu jika ingin melakukan aktifitas atau kreatifitas apapun… Sambil sruput kopi saya pun jadi teringat desa-desa yang ada wilayah tempat tinggal saya.

Tetapi memang betul jika kita mau berfikir dengan pikiran yang waras, bahwa di era globalisasi yang sangat kental dengan digital ini, kedua hal tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang memang harus dipenuhi pemerintah desa, sebab jika tidak, akan menjadi penghambat pertumbuhan disegala sektor, dan masyarakat pun akan sulit berkembang..

Singkat cerita…., Jika desa kita kuat, mandiri, dan berdaulat, maka anak-anak muda desa yang kuliah di kota akan pulang ke kampung halaman ketika sudah menjadi sarjana, dan urbanisasi sudah pasti dapat ditekan, maka pelan-pelan kota tidak akan sesak dan macet.

Penulis: M. Amirul Huda, S.S

(Aktivis Pemerhati Desa)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *