‘A lie told once remains a lie but a lie told a thousand times becomes truth’
(Paul Joseph Goebels)
KataJatim.com – Perkembangan era digital dewasa ini ditandai dengan semakin masifnya penetrasi media sosial dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, politik, budaya dan pertahanan keamanan, fenomena ini merupakan konsekuensi perubahan pola komunikasi, dari cara-cara dan media konvensional menuju digitalisasi komunikasi dengan menggunakan berbagai kanal media sosial kekinian.
Era digital yang ditandai dengan perkembangan Teknologi Informasi Komunikasi terus berlangsung dan berkembang begitu cepat dan semakin canggih, dimulai antara lain dari penemuan bluetooth (2001), Mozilla (2002), Skype (2003), MySpace (2003), Facebook (2004), Youtube (2005), Twitter (2006), Apple iPhone (2007), Google Android (2008), Apple iPad (2010), Instagram (2010), Google Glass (2012), Google Driverless Car (2012), Sophia the artificial intelligence robot (2015), Tesla Model 3(2016), ke depan diprediksi akan terus berkembang inovasi teknologi baru lainnya.
Inovasi teknologi dengan pemanfaatan media sosial menjadikan arus informasi mengalir dengan deras dan cepat, pola-pola komunikasi linier mulai digantikan dengan pola-pola komunikasi simetris, real time melintas batas ruang dan waktu, dengan mengedepankan kecepatan, sekaligus menandakan pola komunikasi dewasa ini sesungguhnya telah memasuki fase interactive communication era, sebagaimana katagorisasi Everett M Rogers, fase lebih lanjut dari pengembangan era telekomunikasi dengan menjadikan penggunaan internet sebagai media baru (new media).
Perkembangan era digital dengan masifnya penggunaan internet sebagai media baru (new media), membawa konsekuensi pergeseran karakter khalayak menjadi audience, khalayak tidak lagi obyek pasif, namun dapat berperan menjadi produsen informasi (Prosumer), masyarakat sebagai khalayak tidak lagi pada posisi obyek yang dideterminasi media massa arus utama, tetapi lebih jauh dapat berperan memproduksi berita dan membentuk opini publik via platform media sosial.
Melalui media sosial memungkinkan pengguna berinteraksi, berbagi dan berkomunikasi yang membentuk ikatan sosial secara virtual dalam masyarakat jejaring (networking society) yang ditandai dengan munculnya jurnalisme warga (citizen journalism), fenomena ini menempatkan media sosial sebagai garda terdepan dalam komunikasi model baru sekaligus berperan membentuk opini publik.
Dalam perkembangannya, penggunaan media sosial sebagai garda terdepan dalam komunikasi model baru, tidak lagi hanya sekedar berperan sebagai kanal menyampaikan pesan dan menyerap informasi, tetapi lebih jauh berperan dalam mempengaruhi persepsi dan perilaku publik, mempengaruhi pengambilan keputusan institusi, kelompok masyarakat dan turut andil dalam pengembangan kesadaran kolektif opini publik. Lebih ektrim Aylin Manduric dalam tulisannya “Sosial Media as a tool for information warfare” menyatakan bahwa media sosial sebagai senjata pemusnah massal dan pemicu timbulnya konflik, berperan sebagai senjata kata-kata yang mempengaruhi hati dan pikiran audiens yang ditargetkan.
Melalui media sosial, berbagai informasi membanjiri ruang publik media sosial , arus informasi yang deras tanpa batas tersebut , ibarat sekeping mata uang logam yang memiliki dua sisi yang berbeda, media sosial satu sisi dapat bersifat positip apabila dimanfaatkan secara benar, untuk mengedukasi masyarakat dan mengoptimalkan manfaat praktis media sosial, bagi peningkatan pembangunan bangsa.
Pemanfaatan media sosial berperan dalam mengoptimalkan nilai tambah ekonomi dan membangun sinergi antar segenap komponen bangsa, dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, ditengah persaingan antara bangsa yang semakin tajam, dampak positip media sosial, antara lain terlihat dari bergeraknya aktivitas ekonomi rakyat, disektor pariwisata tidak lagi didominasi oleh koorporasi besar, namun berkembang desa wisata yang dikelola oleh masyarakat lokal, home stay dll.
Dampak positip pemenfaatan media sosial juga ditandai dengan berkembangnya marketplace yang mempertemukan penjual dan pembeli, e-comerce, UMKM yang memanfaatkan toko online, gojek, rental mobil rumahan dan berkembangnya economic sharing resources sehingga semakin masifnya start- up bisnis, yang membuka peluang usaha baru, menciptakan pasar baru dan menggunakan sarana promosi baru yang efektif dan efesien berkat pemanfaatan positip media sosial.
Namun disisi lain pemanfaatan media sosial juga dapat kontra produktif, apabila ruang publik disesaki oleh informasi yang yang berseliweran melalui media sosial dengan hoax, informasi palsu (fake news) dan informasi keliru (falsenews) yang memiliki daya rusak yang dashyat karena penyebarannya yang sangat cepat tanpa batas dan mampu membangkitkan emosi yang sangat kuat.
Dengan merebaknya fenomena post truth apabila tidak diantisipasi dengan mitigasi yang terencana dan terukur, juga akan berpotensi mempertajam polarisasi di masyarakat, ditandai dengan semakin viralnya pemberitaan yang tendensius mengusung sentimen agama, ras dan kelompok kepentingan yang dapat menjadi tantangan dan hambatan dalam memacu keberlanjutan pembangunan nasional, merawat NKRI guna meningatkan kesejahteraan rakyat.
Fenomena post-truth
screen-shot-2018-10-22-at-11-32-14Frasa post-truth ini awalnya dikenal di ranah politik saat kontes politik memperebutkan kursi parlemen dan/atau tujuan politik lain sehingga istilah ini disebut post-truth politics. Istilah post-truth pertama kali diperkenalkan Steve Tesich, dramawan keturunan Amerika-Serbia. Tesich melalui esainya pada harian The Nation (1992) menunjukkan kerisauannya yang mendalam terhadap fenomena post-truth, dengan maraknya upaya memainkan opini publik dengan mengesampingkan dan bahkan mendegradasi fakta dan data informasi yang objektif. Secara sederhana, post-truth dapat diartikan bahwa masyarakat lebih mencari pembenaran dari pada kebenaran.
Dalam perkembangannya istilah post-truth menjadi semakin populer akhir-akhir ini, ketika para penyunting Kamus Oxford menjadikannya sebagai word of the year tahun 2016. Post-truth menunjukkan suatu keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik bila dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi.
Era post-truth dapat disebut sebagai pergeseran sosial spesifik yang melibatkan media arus utama dan para pembuat opini. Fakta-fakta bersaing dengan hoax dan kebohongan untuk dipercaya publik. Media mainstream yang dulu dianggap salah satu sumber kebenaran harus menerima kenyataan semakin tipisnya pembatas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan, fiksi dan nonfiksi. Secara sederhana, post-truth dapat diartikan bahwa masyarakat lebih mencari pembenaran dari pada kebenaran.
Sudah selayaknya kita dapat mengambil pelajaran berharga dari sebagian kecil saja contoh bagaimana fenomena post-truth mempengaruhi kehidupan pada berbagai bangsa , dari kasus yang terjadi di Ukrania, Rusia, Inggris, Amerika Serikat.
Di Ukraina tumbangnya presiden Ukraina diawali dengan sebuah status di medsos yang dibuat seorang jurnalis di Facebook yang dilanjutkan dengan seruan berkumpul di Lapangan Maidan di Kiev, di Rusia, Presiden Putin memanfaatkan medsos sebagai kampanye terselubung kepada negeri tetangganya seperti Ukraina, Prancis, dan Jerman.
Bahkan Senat Amerika pernah memanggil perwakilan Google, Facebook dan Twitter dalam kasus mengarahkan suara pemilih dan memecah belah masyarakat yang diduga melibatkan Rusia. Di Inggris referendum Brexit secara efektif menggunakan medsos seperti Facebook untuk memasang iklan. Trump juga menggunakan medsos untuk kampanye mempengaruhi pemilih dengan membuat 50.000-60.000 iklan yang berbeda di medsos, utamanya di Facebook.
Post-truth sengaja dikembangkan dan menjadi alat propaganda dengan tujuan mengolah sentimen masyarakat sehingga bagi yang kurang kritis akan dengan mudah terpengaruh yang diwujudkan dalam bentuk empati dan simpati terhadap agenda politik tertentu yang sedang diskenariokan.
Berita/informasi yang disampaikan, meskipun menjanjikan sesuatu yang indah dan menyenangkan, belum dapat dikatakan suatu kebenaran, sebaliknya, bukan pula sesuatu yang nyata akan terjadi, apabila diungkapkan berupa ancaman atau sesuatu yang dapat menimbulkan keresahan dan ketakutan serta menciptakan kondisi yang tidak produktif.
Salah satu faktor yang menjadi katalisator berkembangnya post –truth adalah kehadiran teknologi informasi yang berimplikasi pemanfaatan media sosial yang tidak tepat, teknologi digital- telah mampu menciptakan realitas sendiri, sesuai dengan agenda setting kelompok kepentingan atau menurut ilmu simiotika, keadaaan ini berdampak pada terpisahnya antara penanda (signifier) dengan petanda (signified).
Peran media sosial melalui algoritma secara tidak langsung juga memiliki kontribusi yang signifikan dalam membentuk masyarakat post-truth. Algoritma media sosial berperan dalam menciptakan kondisi yang disebut echo-chamber. Echo-chamber ( ruang gema) adalah kondisi di mana seseorang menerima informasi, ide, dan gagasan yang homogen secara terus-menerus, sedangkan pandangan lain tidak masuk dalam ‘ruang’ tersebut.
Algoritma seolah-olah menjadi “filter buble”. Algoritma filter buble mengkondisikan pengguna mendapat informasi sesuai dengan riwayat penggunaannya, secara perlahan tapi pasti informasi yang dipasok disesuaikan dengan dengan preferensi yang dikehendaki, sedangkan yang tidak sesuai akan tersortir secara otomatis. Eksternalitas dari algoritma tersebut tak dibayangkan adalah masyarakat akan hanya mendapat informasi yang bersifat banal dan parsial. Dampaknya adalah penguatan identitas dan polarisari masyarakat yang semakin tajam dan berpotensi memantik konflik yang berkepanjangan.
Solusi Literasi Digital
inter1Mencermati perkembangan sosial media dan fenomena post truth yang berkembang akhir-akhir ini, menjadikan media sosial sangat berperan mempercepat mengalirnya informasi, semakin berlimpah ruahnya informasi yang berseliweran di ruang publik, yang tidak selalu berdasarkan fakta, semakin tipis batas pembenaran dan kebenaran, untuk itu diperlukan kesiapan yang matang dari masyarakat dalam memanfaatkan media sosial, gerakan bijak bermedia sosial di Indonesia perlu terus digelorakan.
Hal ini menjadi semakin relavan bila kita cermati perkembangan pemanfaatan media sosial di Indonesia, ditengah fenomena masih rendahnya minat baca buku di Indonesia, namun disisi lain, merujuk data wearesocial per Januari 2017, terungkap bahwa orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari, aktivitas kicauan dari akun Twitter yang berdomisili di ibu kota Indonesia ini paling padat melebihi Tokyo dan New York (Hasil riset Semiocast, sebuah lembaga independen di Paris).
Hal ini menjadikan warganet di Indonesia seyogyanya memiliki peran yang besar untuk memerangi hoax, false news maupun fake news atau minimal tidak ikut berperan menyebarluaskan hoax, yang intensitasnya semakin meningkat ditengah fenomena post-truth. Langkah-langkah nyata dengan “saring baru sharing” fact checking sebagai intrumen utama melawan post-truth perlu terus ditingkatkan dikalangan warganet, Warganet memiliki peran penting dalam mendukung kesuksesan kerja setiap pemerintahan, siapapun yang mendapat mandat dari rakyat, karena sejatinya, siapapun pemerintahan tujuan mulianya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Mari kita ciptakan atmosfer positif di dunia digital, kecerdasan digital harus dimiliki setiap orang dengan terus meningkatkan literasi digital, literasi digital menjadi suatu keniscayaan dalam melawan fenomena post truth yang ditandai dengan maraknya hoax, false news maupun fake news, melalui literasi digital akan terbangun kemampuan untuk mengenali, memahami, menerjemah, mencipta, dan berkomunikasi dengan medium cetak, audio-visual, dengan mengedapankan nilai-nilai integritas, empati dan spirit membangun sinergitas saling menghargai.
Literasi digital yang digagas akan sangat berguna dalam memberikan pencerahan terkait dengan hak digital (digital rights), kecerdasan emosional digital (digital emotional intelligence) dan penggunaan penggunaan digital (digital use) yang “sehat” dan berkontribusi positip dalam menyongsong perubahan positip, dan yang tak kalah pentingnya dengan literasi digital akan mendorong masyarakat untuk berpikir kritis (critical thinking), yaitu kemampuan untuk membedakan antara informasi nyata dan bohong, konten baik dan berbahaya, dan kontak online yang dapat dipercaya maupun yang diragukan.
Melalui literasi digital diharapkan akan terbangun budaya bijak bermedsos, meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang dilengkapi karakter yang kuat dengan kemampuan menetapkan skala prioritas, dan berpikir jauh kedepan yang akan sangat membantu dalam menghindari terkurasnya energi untuk menanggapi hal hal yang tidak prinsip, sekaligus merupakan amunisi utama yang dapat digunakan untuk menyikapi fenomena post truth agar tidak kontraproduktif terhadap cita-cita merajut kebinekaan Indonesia dan membangun sinergitas meningkatkan daya saing bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik. Semoga!