Hendrik Kurniawan, S.ip, Pengurus Kabid P3A Komisariat Fisip – Hukum, HMI Denpasar
KataJatim.com – Penjatuhan hukuman oleh Pengadilan terhadap mantan Menteri Sosial yang terbukti merampok dana bansos sudah diketok palu dengan vonis hukuman 12 tahun penjara. Namun yang menjadi perhatian publik adalah pertimbangan hakim terkait hal yang meringankan dalam vonis hukum sang jagoan perampok dana bansos.
Hakim menyatakan bahwa Perampok Uang Rakyat sudah diadili sebelumnya oleh publik, dan sudah sangat menderita karena mendapatkan cercaan serta hinaan. hal tersebut merupakan pertimbangan hukum yang tidak tepat, mengingat tingkat kejahatan hukum yang dilakukan Perampok Uang Rakyat. Pertimbangan hukum semacam itu selayaknya dialamatkan pada maling ayam yang mencuri hanya untuk sekedar bertahan hidup, bukan kepada mereka yang berdasi mewah dan masih mencuri hanya untuk gaya hidup.
Tapi inilah negeri kita hari ini, derita Perampok Uang Rakyat lebih didengar dibandingkan suara derita perut rakyat yang menjadi korban kerakusan mereka para tikus berdasi mewah. Ketidakpekaan lembaga penegak hukum menjadi bayang-bayang keadilan di negeri ini, kendatipun mereka peka dengan keadilan dan derita rakyat, kepekaan mereka justru jalan di tempat karena mereka terbiasa mengabaikan keadilan untuk rakyat. Sehingga kepekaan itu lebih banyak didistribusikan untuk melindungi kepentingan penguasa.
Hal semacam ini pada akhirnya menerangkan bahwa “keadilan tidaklah mahal di negeri ini, yang mahal adalah hakimnya”. Cercaan serta hinaan yang dilakukan publik kepada Perampok Uang Rakyat merupakan suatu hal yang wajar, mengingat apa yang dilakukan oleh Juliari merupakan tindakan kejahatan yang dilakukan secara sadar, dan memiliki dampak yang lumrah bagi masyarakat yang sebelumnya dibuat frustasi di situasi pandemi saat ini.
Bayangkan saja praktek suap menyuap itu dilakukan disaat kondisi kesehatan dan ekonomi masyarakat memburuk. Lantas ekspresi kekesalan masyarakat semacam itu tak harus menjadi landasan pertimbangan majelis hakim untuk meringankan si Perampok Uang Rakyat.
Mari coba kita perhatikan kalkulasi rasional sederhana terkait dengan derita bansos ini. Merupakan suatu kewajiban bagi pemerintah untuk memberikan bantuan kepada rakyat yang terdampak oleh pandemi saat ini, mengingat sejak awal rakyat sudah dalam kondisi tertekan, aktivitas ekonomi tersendat, mobilitas serba terbatas, mereka yang sudah sejak awal miskin dengan pendapatan seadanya menjadi tambah terpuruk karena pemasukan sudah tidak ada lagi, lalu bagaimana mereka akan menyambung hidup?
Karena itu kebijakan penyaluran bantuan kemanusiaan itu diterbitkan untuk meringankan beban rakyat tersebut. Sementara Perampok Uang Rakyat memiliki kedudukan sentral di Kemensos, ia memiliki gaji pokok, memiliki insentif di luar gaji pokok, dan sejak awal memiliki pendapatan tetap diatas masyarakat sipil. Lalu merasa kurang dengan pendapatannya dan menggelapkan dana bantuan tersebut. Praktek tersebut kemudian membuat mereka yang tadinya sudah menderita, kian menderita karena hak mereka di kebiri, mental masyarakat semakin terganggu karena faktor kebutuhan hidup mereka. Sementara si Perampok
Uang Rakyat yang tadinya datang dengan setelan mewah berupaya untuk mengambil hak rakyat hanya untuk mempertahankan gaya hidupnya, bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Lalu ia tertangkap dan mendapatkan vonis sosial dari masyarakat sebagai makhluk rakus Perampok Uang Rakyat, dan ia merasa menderita, mengeluh dengan hal itu, dan meminta dirinya agar dibebaskan. Lalu hakim menjadikan keluhan Perampok Uang Rakyat ini dan vonis sosial dari masyarakat sebagai pertimbangan untuk memberikan keringanan hukuman, parodi macam apa ini? apakah hakim tidak melihat atau bahkan buta, sehingga tidak mampu mensensor efek derita yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukan Perampok Uang Rakyat. Keputusan semacam itu pada akhirnya menjadi penghinaan dan pengkhianatan terhadap rakyat. Menghina derita rakyat dan mengkhianati rasa keadilan bagi masyarakat.
Di sini kita dapat melihat pertimbangan hakim yang mempertimbangkan perasaan dari seorang Uang Rakyat dan mengenyampingkan perasaan rakyat semakin menegaskan terkait dengan keberpihakan hakim dan lembaga penegak hukum terhadap para pelaku kejahatan. Berantas korupsi, ganyang koruptor, tegakkan keadilan, rupanya hanya sebatas “slogan” saja. Kata itu diucapkan hanya untuk sekedar memagari kepentingan politik para elit, rakyat hanya diperalat dan dijadikan sebagai penikmat setia slogan para politisi.
Lembaga penegak hukum tidaklah rapuh, mereka sangat kuat, sangat berpihak pada yang menjaga stabilitas kepentingan mereka. Selain itu Perampok yang rumornya menjadi DPO Internasional apa kabar? Perampok Bank pulau dewata yang menghilang dua dasawarsa serta Penuntut Umum Cantik penerima suap berbahagia hukumnya disunat, lalu bagaimana rakyat? Yaa mereka tetap melarat, beban hidup terus bertambah berat, banyak yang sudah sekarat, bahkan ada juga yang sudah di akhirat. Yaa inilah negeri kita, tempat dimana mereka yang menghendaki pangkat, tak segan menjilat juga berkhianat.
Selain derita bansos dan sekelumit persoalan hukum yang ada saat ini, kita masih dalam tahap pembatasan mobilitas masyarakat, yang terhitung mulai diberlakukan sejak tanggal 3 Juli dan secara berantai terus di perpanjang, dan informasi terbaru kebijakan PPKM diteruskan kembali hingga 6 September 2021. Kebijakan yang demikian menjadikan penanganan pandemi ini terus berlarut-larut dengan berbagai kontroversi yang terjadi, seperti masuknya puluhan TKA dimasa PPKM, sementara rakyat sendiri justru banyak di PHK. Pemerintah selalu bertele-tele dengan dalam proses penanganan pandemi, memiliki banyak istilah yang terus berubah-ubah. Anggaran yang kita miliki sebagaimana yang disampaikan oleh beberapa anggota parlemen pusat sebetulnya cukup untuk membiayai prosesi lockdown tersebut kendati anggaran tersebut merupakan hasil dari hutang luar negeri.
Namun kenyataan yang kita lihat di lapangan adalah terjadinya perang kelompok kepentingan sehingga rakyat hanya kebagian riak arus dari kelompok kepentingan tersebut sehingga terombang-ambing tidak jelas. Sementara rakyat memiliki penghidupan, memiliki anak keluarga yang harus dihidupi, lalu muncul berbagai kebijakan yang membatasi bahkan memutus pergerakan rakyat dalam melakukan mobilisasi, terutama mobilisasi ekonomi. Keadaan ini yang membuat rakyat kian terpuruk, dimana sumber daya yang mereka miliki untuk aktivitas kehidupan mereka kian tebatas, dan solusi konkrit dari pemerintah belum ada yang memadai untuk mengatasi persoalan rakyat.
Kendati memang ada bantuan sosial, bantuan tersebut pun sudah dirampok terlebih dahulu, dan yang lebih ironisnya lagi bantuan tersebut dipermainkan oleh elit-elit lokal untuk kepentingan pribadi mereka dan golongan, dan itu fakta kita lihat dalam kehidupan rakyat hari-hari ini.
Jika kita berbicara persoalan vaksinasi, keadaan tersebut membuat kita semakin dilema. Dimana distribusi vaksin masih belum merata menjangkau rakyat muncul lagi bentuk vaksin berbayar yang sama sekali bertentangan dengan keputusan sebelumnya yang menggratiskan vaksin bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Jadi keadaan kita terus dipermainkan sedemikian rupa, tanpa ada solusi yang benar-benar konkrit yang bisa membuat kita memandang satu arah dengan jelas. Keadaan rakyat yang demikian justru dipolitisasi dan dikomersialisasi, yang membuat rakyat kian terpuruk. Dari keadaan sebelumnya yang sudah menyiksa, dimana bantuan sosial dirampok, mobilitas dibatasi, dan sekarang rakyat dijadikan sebagai objek bisnis dari penguasa korup dan kelompok kepentingan dari kalangan kelompok borjuasi kecil menengah.
Keadaan yang seperti kemudian pada akhirnya menimbulkan keadaan tirani ditengah masyarakat, berbagai gejolak sosial terjadi, kriminalitas terjadi dimana-mana, tidak hanya terjadi antar masyarakat tapi juga dengan aparat pemerintah. Disatu sisi peraturan sebagai hukum tertulis harus ditegakkan, sementara disisi lain keadaan yang sulit memaksa rakyat untuk melanggar peraturan demi tercukupinya kebutuhan hidup mereka. Hal tersebut yang kemudian ditanggapi secara represif dan yang jadi korban adalah masyarakat itu sendiri. Sudahlah mereka yang dalam keadaan sulit, tambah dipersulit lagi dengan keadaan yang sebetulnya membuat hak mereka dilecehkan secara terang-terangan, dan tak jarang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, bukankah keadaan ini yang dinamakan tirani?.
Belum lagi keadaan dimana kesalahan pemahaman terhadap aturan oleh aparat dilapangan, berdampak serius terhadap stabilitas sosial masyarakat, yang membuat prinsip demokrasi tidak berjalan sama sekali atau lumpuh total. Keadaan justru menjadi serba kebalik, dimana “semua dilarang kecuali yang diperbolehkan”. Sementara prinsip demokrasi yang sebenarnya adalah “semua diperbolehkan kecuali yang dilarang”. Jadi publik hari ini dalam keadaan serba dilematis. Keadaan yang jauh lebih menjijikkan yang kita lihat adalah pada kualitas pelayanan publik dalam memperoleh vaksinasi. Protokol kesehatan sama sekali tidak diperhatikan, masyarakat dibiarkan begitu saja tanpa ada prokes yang ketat. Jadi bagaimana bisa mencegah penularan jika cara kerjanya seperti itu, makanya tidak heran jumlah yang positif terinfeksi virus terus bertambah, karena ketika yang selesai vaksin dengan keadaan tanpa ketatnya prokes melakukan rapid tes mereka banyak yang lansung positif, bukankah ini yang disebut tirani?.
Lebih dari itu keadaan masyarakat yang mengantri vaksinasi ketika kuota vaksinasi per hari sudah cukup digantung begitu saja, tanpa ada himbauan atau penjelasan dari instansi penyelenggara vaksinasi. Praktek bisnis orang dalam atau oknum calo juga menjadi pemandangan yang menjijikkan dalam proses pelayanan publik, keadaan demikian pada akhirnya membuat sebagian besar masyarakat yang selayaknya memperoleh pelayanan setara selalu menjadi yang terbelakang, kalaupun ingin memperoleh pelayanan dengan cepat, mereka harus membayar dengan nominal uang yang ditentukan oknum terkait. Jadi masyarakat yang seharusnya memperoleh hak mereka dengan gratis harus dengan berat hati mengeluarkan sejumlah uang untuk menebus jasa si oknum.
Lebih ironisnya lagi keadaan ini dibiarkan oleh instansi terkait tanpa ditindak sama sekali, hal ini tentu sangat merugikan masyarakat. Dan masyarakat tetap dalam keadaan sebagai kelompok subordinat yang terus ditekan, didominasi, dilecehkan dan juga diperalat oleh sekolompok oknum atau kelompok kepentingan yang ada dalam instansi yang seharusnya mengayomi masyarakat tanpa pamrih, karena mereka sejatinya digaji untuk melayani. Tapi keadaanya justru serba terbalik. Banyak yang perlu dievaluasi dari praktek pelayanan publik ditengah pandemi ini, tapi pertanyaannya adalah “siapa yang harus mengevaluasi siapa?”, karena legislatife, eksekutif dan jajarannya bersetubuh guna memperalat rakyat untuk kepentingan mereka. Sekali lagi, bukankah ini yang disebut tirani?
Pandemi Covid tak kunjung usai, kita kembali dihebohkan dengan munculnya pandemi baru, yaitu krisis moralitas dan krisis empati dari aktor-aktor politik terkemuka. Hal ini ditunjukkan dengan pagelaran perang baliho oleh para politisi ditengah situasi rakyat yang begitu tertekan. Dibawah rakyat menjerit, pembatasan mobilitas kian mempersulit, tapi kita lihat tingkah para elit, sibuk promosi demi meningkatkan elektabilitas personal. Biaya baliho konon katanya tidak main-main, satu baliho saja menghabiskan dana senilai dengan mobil alpard. Itu baru satu baliho saja, sementara di seantero negeri, dijalanan-jalanan kota, senyum para elit politik terpampang megah tanpa melihat air mata rakyat yang resah.
Disaat rakyat di bawah tengah berjuang untuk hidup mereka satu hari kedepan, para politisi justru sibuk mempromosikan diri untuk kontestasi tiga tahun mendatang. Kebijakan pemerintah yang berubah-ubah, rakyat yang tadinya susah kian melarat, namun dengan penuh khidmat para elit politik terus menebarkan pesona untuk 2024, lalu siapa yang katanya bekerja untuk rakyat? Mereka semua adalah orang-orang bergaji tapi sayang sekali hanya kepada kepentingan dan popularitas politik mereka mengabdi. Rakyat kecil siapa yang peduli, baliho seharga ratusan juta jauh lebih berarti. Fenomena baliho ini merupakan wujud dari ketidakpekaan para elit terhadap penderitaan rakyat selama ini. Kendatipun mereka memberikan bantuan, mereka tak lupa menyelipkan identitas dan kepentingan politik mereka di dalamnya baik itu logo partai dan juga foto mereka. Padahal asal mula uang dan bantuan kemanusiaan itu berasal dari rakyat, mereka hanya sebatas sebagai penyalur kepada rakyat, tapi dalam hal penyaluran bantuan tersebut mereka mengikutsertakan pamrih politik. Lalu siapa yang katanya benar-benar bekerja untuk rakyat itu?.
“Dongkrak popularitas” adalah penggalan kata yang tepat untuk menggambarkan fenomena baliho yang ramai hari-hari ini. Popularitas politik menjadi target utama dalam proyek kerja mereka, maka tidak heran kebijakan politik yang dilahirkan penuh kontroversi dan pekat dengan bau kepentingan proyek politik mereka dan golongannya. Jika kita masuk lebih dalam lagi melihat peta politik hari ini, tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari para pemangku kepentingan. Mereka yang bekerja di Senayan maupun yang di Istana sudah berada dalam satu gerbong. Dimana telah terjadi peristiwa perselingkuhan politik sejak awal. Lembaga legislatif dan eksekutif saat ini tidur sekamar. Jadi apa yang bisa diharapkan dari rezim hari ini? tidak ada yang bisa terbentuk dari mereka kecuali kompromi politik yang sama-sama saling menguntungkan antar mereka. Terbukti dengan situasi pandemi seperti sekarang ini, mereka malah sibuk tebar pesona, demi menjadi populer untuk bisa melanjutkan jalan politik mereka menuju kontestasi berikutnya. Rakyat hanya diperalat sebagai suksesor proyek politik mereka, rakyat dihisap sepenunya, lalu menjadi yang terbuang dan diabaikan. Lalu siapa yang katanya benar-benar bekerja untuk rakyat itu?
Berdasarkan pada apa yang dapat kita lihat di lapangan, beberapa tokoh politik yang wajahnya banyak terpampang pada baliho warna-warni di tepi jalan-jalan ada dari Partai berwarna merah, kuning, hijau, dan biru. Mereka sebelumnya adalah orang-orang populer dan saat ini menduduki posisi-posisi sentral dalam peta politik Negeri ini. Namun nyatanya mereka merasa popularitas mereka masih kurang dan perlu dibuatkan baliho lagi, dengan biaya yang sangat fantastis. Sementara rakyat kita hari ini berada dalam kondisi yang sangat miris. Ketika mereka para elit sibuk mencitrakan diri, rakyat justru mencoba menjadi manusia tangguh untuk hanya sekedar bertahan hidup, dan bekerja lebih keras melampaui kapasitas diri mereka. Mau bagaimana lagi, bantuan sosial kemanusiaan yang seharusnya mereka terima sudah dilumat mulut-mulut hewan melata dan tangan-tangan kotor yang saat ini merengek meminta pembebasan di tahanan pemberantas korupsi. Dengan begitu angkuh para tikus berdasi mewah mengenakan jas Hugo Boss menggelapkan uang rakyat, namun sangat berbanding terbalik ketika mereka ditangkap, mereka merengek minta dibebaskan. Lalu dimana urat malunya? Apakah orang seperti ini bisa disebut orang yang benar-benar bekerja untuk rakyat?
Baliho politisi dengan penderitaan rakyat tidaklah berjarak, bahkan baliho itu terpampang megah diatas tumpukan derita rakyat. Jika memang mereka peka mereka tak akan melakukan itu, jika memang mereka bermoral dan beretika tentu mereka akan faham sakitnya rakyat memandang baliho megah, jika memang mereka berempati tentunya mereka akan faham kepentingan diatas derita adalah tindakan yang kejam. Tapi sayang sekali semua indikator kemanusiaan itu mereka tepikan dan menolak untuk faham. Kenyataan yang kita lihat adalah “dongkrak popularitas” sudah terpasang rapi, para politisi mendadak menjadi selebriti, ruang publik kian pengap, keadilan tersendat sebatas slogan. Fenomena baliho ini adalah anak dari hasil perselingkuhan politik para elit. Empati bagi mereka adalah perkara rumit. Mari berbenah selagi mentari masih bisa terbit. Jalani hidup kendati sulit. Tak perlu bertanya mereka bekerja untuk siapa? Yang jelas mereka tak pernah benar-benar bekerja untuk rakyat. kr