Pemilu Sistim Proposional Terbuka Menyemarakkan Politik Uang 2024

Daerah Opini

Katajatim – Probolinggo-Mahkama Konstitusi (MK) telah memutuskan tidak ada perubahan sistim pemilihan di Pemilu tahun 2024, tetap proposional terbuka sebagaimana Pemilu sebelumnya di tahun 2019.

Setelah adanya rumor-rumor tentang sistem pemilu 2024 mendatang,tim media katajatim mengkonfirmasi Wasito Edi Yuliantoro kini sebagai pemerhati bidang kelistrikan Indonesia sekaligus sebagai ketua partai Gelora Indonesia Kabupaten Probolinggo Jawa timur, Di ruang kerjanya.kamis (25/5/23)

“Wasito memaparka “Tuntutan pada MK untuk melakukan peninjauan ulang pada sistim proposional terbuka, membuat pengurus, kader dan bacaleg partai menjadi was-was, penuh rasa khawatir dan ketidakpastian. Tidak terkecuali pengurus, kader dan bacaleg partai Gelora Indonesia kabupaten Probolinggo.

Mestinya, tuntutan itu dilakukan dan ditanggapi oleh MK bukan pada saat injuri time, di mana semua instrument politik Pemilu sudah masuk tahapan pemilihan. Jika dilakukan di awal tahun masa lima tahunan periode pemilihan, misal tahun 2020 lalu atau 2025 yad, justru mungkin membuat semua stake holder Pemilu bisa mempersiapkan diri dengan baik dan matang.

Sistim Proposional terbuka yang ditetapkan oleh stake holder Pemilu sejatinya mampu mengakomodir tokoh masyarakat dari berbagai aspek kehidupan. Tokoh bidang pendidikan, bidang agama, bidang social, bidang olah raga, bidang pertanian, pengusaha dll., punya peluang yang sama dengan aktifis partai dalam Pileg.

Hal itu mencerminkan keadilan dan memberi peluang bagi mereka tanpa harus jadi pengurus partai bisa ikut kontestasi Pileg dan menjadi Aleg dari ketokohannya. Namun sayangnya hal itu telah bergeser jauh dari tujuan baik dan mulia yang diharapkan. Faktanya, masyarakat menjatuhkan pilihan bukan atas dasar “kapasitas tapi isi tas”. Jargon negatif yang menggambarkan hal tesebut. sudah bukan rahasia umum. “Tongket”, settong seket, ” berjuang”, beras baju dan uang, serangan fajar dll., seolah menjadi pembenaran atas maraknya politik uang akhir-akhir ini. Besarnya uang menentukan kemenangan, itu salah satu fakta keterpilihan beberapa Aleg yang sering terdengar.

Para tokoh yang punya kapasitas dan ketokohan, biasanya bermodal pengabdian dan keikhlasan. Mereka diharapkan jadi representasi masyarakat duduk menjadi anggota legeslatif melalui pencalegan, tidak mampu bersaing dengan para “pemodal politik”. Akhirnya mundur dengan alasan tidak punya modal berupa uang. Kalaupun berlanjut banyak yang gagal masuk gedung dewan. Popularitas bukan jaminan mendapatkan elektabilitas. Sedangkan para pemodal politik dengan keyakinan “ada uang ada harapan” tidak segan menggelontorkan uang karena paham dengan kemauan pemilih saat ini.

Menyimpulkan sistim Pemilu Proposional terbuka menjadi ladang subur politik uang, tentu harus dengan kajian mendalam. Namun faktanya pemilih mau yang “instant” maka “rayuan” politik paling efektif pada pemilih adalah dengan uang. Gagasan, ide dan harapan yang disampaikan caleg ditanggapi dan diyakini hanya sebatas janji-janji. Bagai telur dan ayam, mana yang “duluan”, permintaan pemilih atas uang sogokan atau ingkar janji caleg yang memang sering melampaui batas kewenangan saat memberi harapan.

Padahal suara pemilih pada sistim proposional terbuka menjadi satu-satunya penentu kemenangan. Maka siapa yang punya jaringan dan uang pasti akan meraup suara besar. Partai apapun dan nomer urut berapapun bukan pertimbangan. Adanya “demand” atas uang sogokan dan “supply” dari caleg beruang, menciptakan persaingan ketat bukan hanya dengan caleg partai lain tapi juga dengan sesama caleg partai itu sendiri. Sedangkan partai tidak punya kewenangan untuk menentukan siapa yang diutamakan di sistim ini, rakyatlah yang memegang “kekuasaan” menentukan siapa wakil mereka.

Di sisi lain, indikator eksistensi partai adalah jumlah Aleg yang lolos ke gedung dewan, oleh karena itu partai cenderung pada caleg dengan modal uang besar, walau berkapasitas pas-pasan. Pada akhirnya, kondisi di atas melahirkan bertemunya kepentingan bersama antara partai yang kehabisan kreatifitas, caleg oportunis dan pemilih pragmatis dengan ikatan uang.

Sebagai ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Gelora Indonesia Kabupaten Probolinggo, penulis merasa bahwa sistim pemilu proposional terbuka yang telah dirancang sangat baik, tidak sesuai untuk masyarakat yang masih mengharap “berjuang”, sistim ini akan berjalan sempurna hanya jika masyarakat sudah mandiri secara ekonomi, melek informasi dan memahami konsekuensi pilihan politik sehingga obyektif dalam memilih Anggota Legeslatif terbaik. Oleh karena itu sebagai partai baru dan harapan baru partai Gelora Indonesia mencoba sekuat tenaga memberi pemahaman politik dan opsi terbaik bagi masyarakat dalam memilih wakil mereka untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan kepentingan bersama.(Syahrony)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *